'Basa Gede' sebagai Inti Bumbu dalam Kuliner Bali


Oleh: Ketut Gogonk Pramana

Budaya Bali berorientasi pada konsep gaya hidup yang berlandaskan pada teori keseimbangan. Segala tata laku kehidupan didasari oleh konsep tersebut, termasuk dalam bidang kuliner. Dalam kuliner Bali, dikenal istilah basa genep atau basa gedeyang merupakan bumbu inti (mother souce) yang didasari oleh konsep kesetimbangan kosmos yang diistilahkan dengan catus pata aliaspempatan agung.

Dalam konteks keruangan, catus pata atau pempatan agungdiwujudkan dalam bentuk perempatan utama yang menjadi pusat orientasi setiap desa atau kota. Pusat catus pata merupakan titik nol dari bentangan sebuah wilayah.

Dalam pusaka kuliner Bali, catus pata terwujud dalam penentuan empat unsur utama dari basa gede alias bumbu inti (mother sauce) tadi. Keempat unsur utama tersebut adalah isen (laos), kunyit (kunir),jae (jahe), dan cekuh (kencur). Keempat bahan inilah yang menjadi ‘guru’ atau pokok dalam pembentukan basa gede. Selanjutnya, keempat unsur utama tersebut dilengapi dengan tiga unsur tambahan, dua unsur laut, dan satu unsur pengunci.

Jika dikaitkan dengan kosmologi, isen (lengkuas) yang berwarna merah mewakili arah selatan dan merupakan representasi representasi Dewa Brahma. Kunyit (kunir) yangberwarna kuning mewakili arah barat yang merupakan representasi dari Dewa Mahadewa. Jahe (hitam) mewakili arah utara merupakan representasi dari Dewa Wisnu. Cekuh(kencur) yang berwarna putih mewakili arah timur dan merupakan representasi dari Dewa Iswara.

Di dalam memadukan ke-empat unsur utama ini, para tetua tidak menggunakan skala timbangan untuk mengetahui besaran jumlah masing-masing, melainkan dengan jari tangan. Ada pun pembagiannya sebagai berikut: jari tengah untuk isen (lengkuas), telunjuk untukkunyit (kunir), jari manis untuk jahe, dan kelingking untuk cekuh(kencur).

Setelah mendapat jumlah dari gabungan ke-empat unsur di atas, setengah dari jumlah gabungan bahan-bahan tersebut merupakan besaran jumlah bawang merah. Setengah dari besaran bawang merah adalah besaran bawang putih yang diperlukan.

Selanjutnya, setengah dari besaran bawang putih merupakan jumlah besaran cabai. Setengah besaran cabai, merupakan jumlah besaran rempah-rempah.

Delapan unsur di atas merupakan perwakilan dari gunung, sedangkan garam dan terasi merupakan perwakilan dari laut. Sehingga ke-sepuluh unsur gabungan tersebut melambangkan pertemuan antara gunung dan laut, maskulin dan feminine.

Dalam kaitan menggabungkan ke-sepuluh unsur di atas, Belawa (juru masak) ‘meniupkan roh’ pada basa gede tersebut agar memunculkan cita rasa yang sempurna. Ini merupakan keahlian dalam seni kulinari yang menjadikan masakan terasa enak dan menyehatkan. Para tetua di Bali sangat yakin apabila seorang Belawa berhasil meramu ke-sepuluh unsur bumbu dengan sempurna maka dia akan melebur sebagai sebuah kekuatan yang berporos di tengah, yakni kekuatan Dewa Siwa. Kekuatan Siwa menjamin sanitasi dan menghindarkan makanan dari kontaminasi segala bentuk penyakit.

Dengan takaran di atas, maka bisa diduga bahwa rasa dari basa gedecenderung pedas (spicy). Kemungkinan hal ini sangat dipengaruhi oleh keyakinan Siwa-Buddha yang berorientasi pada Dewa Bairawa yang panas (spicy). Dari cerita ini kemudian kita mengenal sebutan Belawauntuk juru masak, yang belakangan berkembang menjadi Be Lawar. Lalu terjadi salah kaprah, Lawar menjadi sebutan untuk jenis makanannya, bukan pengolahnya.

No comments:

Post a Comment

Adbox

@pandamarbali