Makna Dibalik Bumbu Basa Genep Khas Bali

Disadur dari beberapa referensi buku falsafah kebudayaan Bali, dalam kuliner Bali dikenal istilah bumbu base gede, yang merupakan bumbu inti (mother souce) dari konsep keseimbangan kosmos, atau diistilahkan dengan Catur Pata.
Catur Pata terwujud dalam penentuan empat unsur utama dari basa gede alias bumbu inti (mother sauce) tadi. Keempat unsur utama tersebut adalah isen (laos), kunyit (kunir), jae (jahe), dan cekuh (kencur). Keempat bahan inilah yang menjadi ‘guru’ atau pokok dalam pembentukan basa gede.
Ke empat unsur utama tersebut dilengkapi dengan tiga unsur tambahan, dua unsur laut, dan satu unsur pengunci.  Jika dikaitkan dengan unsur kosmologi, isen (lengkuas) yang berwarna merah mewakili arah selatan dan merupakan representasi Dewa Brahma. Kunyit (kunir) yang mewakili arah barat dan merupakan representasi dari Dewa Mahadewa. Jahe (hitam) mewakili arah utara merupakan representasi dari Dewa Wisnu. Cekuh (kencur) yang berwarna putih mewakili arah timur dan merupakan representasi dari Dewa Iswara.
Di dalam memadukan ke-empat unsur utama ini, para empu masak khas Bali tidak menggunakan skala timbangan untuk mengetahui besaran jumlah masing-masing, melainkan dengan jari tangan. Ada pun pembagiannya sebagai berikut: jari tengah untuk isen (lengkuas), telunjuk untuk kunyit (kunir), jari manis untuk jahe, dan kelingking untuk cekuh (kencur).
Setelah mendapat jumlah dari gabungan ke-empat unsur di atas, setengah dari jumlah gabungan bahan-bahan tersebut merupakan besaran jumlah bawang merah. Setengah dari besaran bawang merah adalah besaran bawang putih yang diperlukan. Selanjutnya, setengah dari besaran bawang putih merupakan jumlah besaran cabai. Setengah besaran cabai, merupakan jumlah besaran rempah-rempah.  Delapan unsur di atas merupakan perwakilan dari gunung, sedangkan garam dan terasi merupakan perwakilan dari laut. Sehingga ke-sepuluh unsur gabungan tersebut melambangkan pertemuan antara gunung dan laut, maskulin dan feminine.  Dengan takaran di atas, ini yang menandakan kuliner Bali begitu kaya rempah, dan bisa diduga rasanya cenderung pedas (spicy).
Kemungkinan besar ini sangat dipengaruhi oleh keyakinan Siwa-Buddha yang berorientasi pada Dewa Bairawa yang panas (spicy). Dari cerita ini kemudian kita mengenal sebutan Belawa untuk juru masak, yang belakangan berkembang menjadi Be Lawar. Lalu terjadi salah kaprah, Lawar menjadi sebutan untuk jenis makanannya, bukan pengolahnya.
Sumber: wartahot

No comments:

Post a Comment

Adbox

@pandamarbali